08/10/11

Seperti Rasas Bambu

Tepuk tangan bergemuruh memenuhi gedung Auditorium salah satu universitas yang begitu ternama di kota merodot, tatkala satu dari sekian banyak mahasiswa diberikan penghargaan serta penyematan langsung oleh Rektor Universitas Negeri Sengeda. Rasa bangga bercampur haru terbias dari wajah sesosok tua yang menyaksikan putranya dari sudut kursi yang telah di siapkan panitia kepada seluruh orang tua. Dialah orang tua mahasiswa terbaik pada priode kelulusan tahun ini. Orang tua yang tidak berpendidikan telah diangkat martabatnya serta martabat tanah kelahirannya Tanoh Gayo.

Disalah satu bilik gedung auditorium Ama (bapak; gayo) dari putra terbaik tadi telah berdiri menunggu Wein(anaknya) dengan senyum yang sumringah dan begitu menebar. Ama pun memeluk mesra tubuh wein(panggilan untuk anak laki-laki; gayo). Dalam benak Ama tak terasa emas yang telah berpeti kuhabiskan demi melangsungkan pendidikamu.
Dengan masih diselimuti rasa bangga Ama pun mengajak Wein untuk merayakan kemenangan ini meskipun tidak semegah orang kota.

Ama   : wein Anakku, terobati sudah jerih dan payah ama selama ini nak
Wein  : (hanya terisak lirih dalam pelukan ayahnnya dan belum dapat berkat apa-apa)
Ama   : sambil melepaskan pelukan terhadap anaknnya “Ama tidak bisa membuat kenduri lagu kul kegere pe lagu nijema keta lagu ni kite padeh (bapak tidak bisa membuat pesta besar besaran, kalo gak pun seperti orang ala kadarnya saja).
Wein  : entimi daleh ama, ama nge geh pe ku ini Alhamduliha pedeh nge kurasa( tidak perlu bapak, bapak sudah datang pun ke sini aku sudah sangat merasa bersyukur sekali).
Ama   : gere beta wein (bukan begitu wein), bagaimana kalo kita makan yang enak saja
Wein  : eleh te sana daleh ma mangan I kost ku so medi (ah gak usah pak kita makan di kost-an aku saja)
Ama   : tidak apa-apa kalo hanya untuk makan kita sekeluarga ama punya cukup uang, jeget mu(kerbau putih) yang yang sering kau gembalakan telah bapak jual buat penayahku (belanja ku:biaya) berangkat ke kota besar ini.
Wein  : jadi apa rencana Ama?
Ama   : ajak ama dan inemu(ibumu) ke restoren(restauran) yang paling megah dan enak di kota ini, ama pengen tau enakan mana masakan buatan Ine mu atau maskaan kota ini.
Wein  : baiklah kalau itu yang bapak inginkan.

Dengan menaiki Taxi merekapun berangkat menuju restauran Rajawali yang begitu termasyur sampai ke pelosok padang bulan. Layaknnya seoarang bangsawan yang turun dari mobil pribadi ama pun turun begitu gagah dengan setelan Jas hitam yang menjadi pakaiyan kebanggaannya. Matanya tertuju pada papan nama di depan restaurant rajawali serta serta tak luput matanya menyapu seluruh ruangan.

Seorang pelayan dengan baju batik, bawahan hitam serta belangkon yang begitu rapi di atas kepalanya menhampiri begitu ramah. Sang pelayanpun mempersilahkan duduk dan menyarahkan buku menu yang tersedia di restaurant itu. Wein pun memesan makanan yang dia rasa sesuai dengan selera ayahnya.

Tak perlu lama menunggu hidangan pun tiba sampai memenuhi meja makan yang mereka duduki. Namun raut ama begitu mengkerut dan terasa aura kebingungan.

Ama   : wein bagaimana cara makannya
Wein  : apanya yang bagaimana?
Ama   : cebonne(tempat cuci tangan:kobokan) sana kati gere ara(kenapa gak ada).
Wein :”tersenyum lebar sambil memaklumi keluguan amanya” bapak ini bagai mana sih, orang kota di sini makan gak pake tangan bapak, tapi make sandok dan garpu nah kalo orang kita di kampung sana bilangnnya camca.
Ama   : jadi bagai mana caranya?
Wein  : begini saja ama ikuti saja saya, apa yang saya ambil bapak ikuti aja. Bagaimana cara menggunakan sendok, garpu, dan pisau makan ini bapak ikut saja.
Ama   :kalo begitu baiklah, dari pada nanti netos kemel(bikin malu).

Setelah perbincangan itu merekapun bersiap untuk makan tentu dengan intruksi wein seperti semula. Terlebih dahulu wein membuka celemek yang telah di sediakan di meja dan meletakkannya hingga menutupi kerah leher dan sedikit pahanya, tanpa bertanya sang ama pu mengikuti tanpa berkomentar.  Kemudian wein mengambil sedikit nasi yang di tuangkannya ke dalam piring di depannya, demikian juga sang ama mengituti tanpa banyak tanya. Tak lupa sedikit kuah rendang dituangkan wein dalam piringnya, demikian juga ama. Segala apa yang dilakukan wein waktu makan siang itu semua di ikuti oleh amanya bahkan sampai bagaimana menggunakan tisu dan tata cara mengelap mulut ala restauran di ikuti dengan sangat baik oleh amanya.a

Selesai makan merekapun beranjak pulang dengan perut yang telah terisi dan masih dengan kebahagian atas kesuksesan wein meraih predikat mahasiswa terbaik kampus tahun ini.

Di sela-sela perjalannan muka ama agak sedikit berbeda seperti rasa ada yang tidak beres di tenggorokannya hingga terasa ingin muntah saja. Wein pu begitu panik serta berkeringat walaupun dalam Taxi yang ber AC.

Wein  : Ada apa Ma(singkatan dari ama)?
Ama   : seperti mau muntah wein.
Wein  : Ama masuk angin karena kena AC?
Ama   :tidak juga wein. Sepertinya gara-gara makanan tadi
Wein  :hahhh(wein bertambah panik, dalam benakkny berfikir kalau dia salah membawa amanya makan di restauran yang tidak enak dan tidak bersabat dengan lidah amanya hingga ayahnya mual karena jijik dengan hidangannya). Makanannya tidak enak ya ama?
Ama   :bukan wein, makanannya enak sekali baru ini bapak meraskan makannya yang begitu lezatnnya, di kampung tidak ada warung seenak ini. Bahkan mengalahi masakan ibumu”candanya dalam wajah pucatnya menenangkan anaknnya.
Wein  :lantas kenapa bapak mual?
Ama   :setiap apa yang kamu lakukan ketika makan tadi bapak ikuti sampai selesai, tapi tetap terasa nikmat walaupun tidak menggunakan tangan. Makanannya luar biasa enak. Tapi yang terakhir kok rasa bambu.

Wein berfikir keras sambil bergumam dalam hatinya "mana ada tadi menu pake bambu", setelah mengingat ingat wein pun tersadar ketika tadi dia sempat mencongkel gigi menggunakan tusukan dengan menutup mulut menggunakan telapak kirinya dan amanya pun mengikuti, namun bedanya sang ama mengunyah tusukan gigi yang memang terbuat dari bambu dan menelannya. "Ternyata Ama mengira ini bagian dari menu cuci mulut"*sambil tertawa kecil menahan geli dalam hatinya.

Wein  :oalah itu bukan makannya ama, itu tusukan gigi.  di gunakan unutk mencongkel makanan yang terselip di selah-selah gigi. Sengaja wein tutup mulut wein pake tangan biar sopan, tapi bukan untuk di telan.
Ama   : Hahahaha aduh ine kolot di ama geh(kampung kali ama ya)*semua terbahak termasuk sang supir taxi.
Tamat….

4 komentar:

ARIJOBA mengatakan...

hahahaha...
gere kekite tosen bukue ama
(bagaimana kalau kita buat bukunya pak)

Unknown mengatakan...

semoga dalam waktu dekat akan kita bukukan,,,hehehehe

Bian mengatakan...

Salam kenal, kunnjungan perdana. Blog yang inspiratif

Unknown mengatakan...

bian: salam kenal juga,,inspiratif nya dimana,,,pujian perdana nih,,,
heheheh